Notification

×

Ritual Pesta Kacang Kampung Adat Lamariang

Minggu, 20 November 2022 | November 20, 2022 WIB Last Updated 2022-11-19T17:39:49Z
Penulis, Helena Lina (Kiri).
Lembata, Fakta Line - Ritual pesta kacang suku-suku Lamaholot di Lembata, Flores Timur dan Alor sudah banyak yang mengetahui. Namun khusus untuk pesta kacang suku Lamariang, kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, mungkin saja belum ada yang mengetahui karena yang dilakukan selama ini boleh dibilang jauh dari publikasi.


Acara Pau Lango, utusan anak sulung menghantar kacang tumbuk dalam tumpeng dan satu ekor ayam jantan merah unik dan berbeda. Bila diikuti pelaksanaan ritual pesta Kacang (werun lolon) sejak dari awal  hingga puncak membtuhkan waktu hampir seminggu. Diawali dengan ritual seve nuki (seve nuki = daun koli yang dilipat sebagai sarana atap rumah) dan puncaknya  berupa pesta tandak, oa dan tari-tarian adat lainnya selama semalam bahkan bisa dua malam.


Pesta Kacang pada suku-suku di Ile Ape dan Ileape Timur memang tidak lepas dari sejarah masyarakatnya. Dikisahkan, leluhur mereka, kakak-beradik datang dari Serang Gorang lalu menepi dan melabukan perahunya di Bui Baran, di samping Tanjung Lakadoni. Menurut ceritra, selama sebulan mereka berdua kakak beradik, menetap di Bui Baran, kemudian berpisah dengan pembagian wilayah dan peran yang berbeda. Kaka Lewo Bolo tinggalnya di lereng gunung Lewotolok (Ile Ape) untuk bertani yang kemudian dikenal sebagai kampung adat Lewohala, sementara adik (arin) Lewo Lere tinggal di pesisir pantai untuk melaut yang kemudian dikenal sebagai kampung adat Lamariang. Ritual itu dilakukan Kaka Lewo Bolo Lewohala dengan suku-suku di bawahnya, melakukan ritual makan kacang (weru lolon).


Sebulan berlalu, setelah status kakak melewati pesta kacangnya, kini giliran arin Lewo Lere  yang tergabung dalam Kampung Adat Lamariang, terdiri dari 15 (Lima Belas) rumah adat dan 3 (Tiga) Koke Bale, melakukan ritual makan kacang baru (weru lolon). Kegiatan ritual pesta kacang Lamariang awalnya ditandai dengan, Ritual Pesta Kacang Tahap Pertama dengan ritual Gantung Nuki (Seve Nuki) di bagian sudut kanan tempat perjamuan bersama (koke bale), pada waktu bersamaan disertai acara memasukan pisang dan pinang (muku-wua gere) ke dalam koke bale. Suku yang berperan melakukan seve nuki adalah suku Purlolong atau Pureklolon di Koke Bale Sulung. Suku Dulimaking melakukan seve nuki di Koke Bale Kedua (Dulimaking), sementara suku Lamamaking melakukan seve nuki di Koke Bale Ketiga, koke bale adik Lamamaking.


Sebelum melakukan ritual seve nuki, Pureklolon sebagai Atamuki, harus menyampaikan dan mendapat restu dari kepala suku Dulimaking sebagai Bele Rayan (orang besar, raja). Sementara, tugas lanjut untuk menyampaikan kepada sumua suku, warga kampung adat Lamariang bahwa acara pesta kacang akan segera dimulai adalah suku Langobelen sebagai mandor (Bekubea). Ritual perdana seve nuki ditetapkan setelah dipastikan kalau satu kali bulan sabit nampak di bagian Barat dan lima kali bulan purnama nampak di bagian Timur.
Masyarakat adat Lamaholot meyakini kalau sudut tiang kanan koke bale, merupakan tempat persemayaman roh-roh nenek moyang. Segala ritual adat sesajian kepada leluhur (pao para) dipusatkan di tempat ini, kendatipun rumah-rumah adat masing-masing suku juga menjadi tempat lain diselenggarakannya ritual adat, memberi makan leluhur (pao para). Semua suku sudah berbagi peran secara turun temurun. Apabila dalam proses pelaksanaan ritual tidak sesuai aturan-aturan adat, termasuk perebutan hak-hak dalam proses ritual adat, maka berkonsekuensi pada hukuman-hukuman leluhur baik perorangan maupun secara kolektif suku ataupun seluruh suku kampung adat Lamariang.


"Bencana demi bencana, kekeringan, gagal panen, sakit, dan lain-lain termasuk mati secara tidak wajar, selalu diyakini, diamini atau diakui sebagai hukuman dari leluhur. Hal itu, harus segera ditangani secara adat pula untuk meredam amarah lanjut leluhur," ungkap Mateus Sura Purlolong (80), penjaga Koke Bale Sulung, kepada FBC di Koke Bale Sulung, kampung adat Lamariang.


Ritual Pesta Kacang Tahap Kedua, pada hari kedua, adalah ritual Ina Ratan. Acara Ina Ratan adalah acara memberi makan adat kepada semua ibu-ibu (kaum perempuan yang sudah menikah). Pemberian makan berupa makanan dari hasil panenan baru yaitu kacang panjang dan pisang. Dalam acara pemberian makan kepada kaum perempuan, diyakini sebagai pemberian makan juga kepada para leluhur perempuan. Arwah leluhur perempuan yang sudah meninggal dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam acara makan bersama kaum perempuan ini.


Ritual Pesta Kacang Tahap Ketiga, acara Habang Helo. Biasanya sebelum acara doro dope, selalu didahului dengan acara Habang Helo di Wolodike, lereng gunung Ile Lewotolok. Habang Helo, merupakan peristiwa pertemuan terencana (habang helo) antara keluarga (suku-suku) Lewo Lere (Lamariang) dengan suku-suku Lewo Bolo (Lewohala) untuk melakukan barter barang bawahan.
Suku-suku Lewo Lere, diwakili oleh suku Dulisesa, Dulimaking, Lamamaking dan Ululame membawa ikan, garam dan kapur untuk ditukarkan dengan pisang, kelapa, siri dan pinang bawaan dari suku-suku Lewo Bolo (Lewohala) yang diwakili oleh suku Halimaking.


"Ritual ini sesungguhnya, selalu mengingatkan kepada semua turunan akan peristiwa perjanjian nenek moyang di Bui Baran; Kaka Lewo Bolo naik ke lereng gunung untuk bertani dan arin Lewo Lere tinggal di pesisir pantai untuk melaut yang nantinya mereka barter bersama," ujar Stefanus Lodan Halimaking, pihak Lewo Bolo yang baru turun gunung melakukan acara Habang Helo. 


Ritual Pesta Kacang Tahap Keempat, ritual Pau Bui. Setelah melakukan kegiatan barter barang bawaan (Habang Helo) di Wolodike, semua tokoh adat yang hadir melakukan ritual pemberian makan bagi arwah leluhur di tempat-tempat bersejarah (nuba) di lereng gunung (ile gole) Ile Lewotolok. Selanjutnya, secara bersama-sama membakar pisang, ikan, ayam dan menikmati buah kelapa milik siapapun yang ada di Wolodike.


Ritual Tahap Kelima, ritual Blai, hari ketiga, yaitu pemberian makan kepada kaum perempuan yang berusia gadis kebawah dan arwah leluhur gadis atau anak-anak perempuan dari suku-suku kampung adat Lamariang.


Baik ritual Tahap Pertama, Tahap Kedua, maupun Tahap Ketiga dilakukan di  Tiga Koke Bale secara berurutan. Koke Bale Sulung, Purlolong terlebih dahulu melakukan ritual Seve Nuki, ritual Ina Ratan dan ritual Blai, menyusul Koke Bale Kedua Dulimaking, selanjutnya,  terakhir Koke Bale Lamamaking.


Ritual Pesta Kacang Tahap Keenam, acara Dora Dope, berburu binatang yang kini sudah beralih ke binatang unggas, khususnya ayam kampung milik warga desa-desa sekitar. Semua kaum lelaki keluar masuk Desa-desa sekitar mencari dan memburu ayam milik siapapun yang sedang berkeliaran. Mereka memanah, membunuh dan dibawah pulang ayam ke Koke Bale untuk dibakar makan bersama.


Ritual Pesta Kacang Tahap Ketujuh, berupa Ritual Pau Lango.  Ritual pemberian makan (sesajian) bagi leluhur berlangsung di ketiga Koke Bale masing-masing. Ritual ini bermula dari Koke Bale Purlolong, kemudian Koke Bale Dulimaking, baru menyusul Koke Bale Lamamaking. Sangat tidak mungkin secara adat, kalau suku Lamamaking mendahului memberi makan leluhurnya sebelum suku Purlolong memberi makan arwah leluhur di Koke Bale-nya. Ritual ini, biasanya ditandai dengan bunyian gong adat pertama sebagai tanda kalau ritual Pau Lango akan segera dimulai. Selama kurang lebih satu jam, waktu buat anggota suku-suku dalam naungan Koke Bale Purlolong untuk menghantar barang bawahannya berupa kacang panjang rebus yang sudah ditumbuk dan dibuat dalam bentuk tumpengan, serta ayam merah hidup.


Gong kedua bunyi menandakan, ritual pemberian makan bagi leluhur (Pau Lango) Koke Bale Purlolong. Sang dukun atau orang yang diwarisi peran Pau Lango dengan pembantunya mulai mengambil peran berupa ritual gantung anak ayam hidup di atas mesbah sudut kanan Koke Bale. Kalau anak ayam cepat mati tandanya suku dan warganya dalam keadaan bersih, tetapi apabila anak ayam yang digantung tidak cepat mati tandanya suku dan warganya tidak sedang sehat, ada konflik atau sedang ada masalah. Kondisi ini, membuat dukun harus melakukan doa-doa mantra (odo iban, amet prat) untuk menghapus segala salah dan dosa suku dan warganya.


Sang dukun pun mengambil ayam jantan merah yang sudah disiapkan, lalu membela mulutnya. Ayam jantan merah hidup dengan darah yang keluar dari luka mulutnya, digunakan untuk memberi minum bagi semua bagian Koke Bale dan arwah leluhur yang bersemayam dalam Koke Bale tersebut. Selanjutnya sang dukun membuat gumpalan-gumpalan kapas putih (kuwal brasa), simbol pembersihan diri untuk diserahkan sebagai bagian dari sesajian bagi arwah leluhur lewotana. Sesajian itu tidak hanya diberikan kepada arwah leluhur yang bersemayam di mesbah sembah tetapi seluruh bagian rumah adat diberi makan (sesajian), baik itu bagian tiang, kayu penyangga, bantal rumah, kakuda, dinding, atap, kayu, batu, bambu, tali-temali, daun-daun dan lain-lain bagian dari rumah atau bahan dari alam yang digunakan untuk membangun rumah adat tersebut, termasuk semua makluk hidup dan mati, benda cair, padat dan gas, situasi dan waktu, diberinya secara berpasang-pasangan.


Ritual pesta kacang lamariang
Acara lanjut adalah muku wua lodo, pisang bertandan-tandan yang telah diberi masuk oleh masing-masing keluarga dan suku-suku pada saat Seve Nuki dikeluarkannya untuk dibakar bersama ayam-ayam bawahan dalam awal acara  Pau Lango. Api yang digunakan untuk membakar semua pisang dan ayam hanyalah api yang bersumber dari hasil gesekan bambu (kneseng). Hal itu, dilalui dalam rangkaian acara Pau Lango setelah ritual kuwal brasa. Dalam proses pemanggangan pisang dan ayam, semua orang dilarang untuk makan pisang dan daging ayam yang sedang dipanggang sebelum semuanya dibawah masuk ke dalam Koke Bale untuk dipersembahkan dan memberi makan kepada leluhur. Ketika memasuki tahap memberi makan leluhur dari pisang dan ayam bakar, gong ketiga pun dibunyikan untuk meberi tanda, kalau Koke Bale Dulimaking dapat memulai ritual Pau Lango-nya. Demikian seterusnya untuk Koke Bale Lamamaking.
Bahan persembahan (sesajian) pisang dan ayam panggang yang telah masak dikerjakan, gong pun kembali dibunyikan kalau ritual puncak Makan Kacang akan segera dimulai. Semua anak laki-laki sulung dari suku-suku yang bernaung di bawah Koke Bale Purlolon segera merapat untuk dilayani makan kacang. Ritual puncak ini menarik karena setiap anak laki-laki sulung sebelum diberi makan kacang baru, terlebih dahulu dijama badannya, dipijat dan diurut, serta diukup dengan asapan api,  yang dibakar dengan akar-akar tertentu untuk mengusir roh-roh jahat dalam diri.


Ritual inti menyusul adalah petugas pilihan mengambil segumpal kacang rebus tumbuk yang telah disiapkan, dalam genggaman tangannya mengayun tiga kali ke arah mulut anak sulung dan ayunan ketiga gumpalan kacang langsung masuk mulut anak sulung suku. Ritual ini hanya dilakukan oleh orang-orang pilihan dalam suku Langotukan. Sejak saat itu, anak-anak laki-laki sulung mulai memakan segala hasil panenan baru. Ketika ketiga Koke Bale sudah melakukan ritual Pau Lango, masing-masing suku pun mulai melakukan ritual Pau Lango bagi rumah besarnya masing masing. Setiap rumah suku Kampung Adat Lamariang melakukan ritual pemberian makan atau sesajian bagi arwah leluhur suku di rumah adat sukunya masing-masing. Suku-suku yang bernaung di bawah Rumah-rumah Adat dan Koke Bale Lamariang adalah suku Dulimaking, Tedemaking, Sesamaking, Purlolong, Lamamaking, Langobelen, Pehamaking, Matarau, Langopeti, Langomada, Lamatuka, Wuamarino, Langotukan, Lewuhule, Apukutu Bejuwete, Nalangu, Langolega, Brewumaking, Gegalega, Nobogaya, Ululame, Dulisesa dan suku lainnya.


Acara pau lango berjalan mulai sore hingga malam, dilanjutkan dengan kemeriahan bersama berupa tandak, dolo-dolo, oreng dan tarian adat lainnya hingga pagi. "Acara syukuran ini dapat berlangsung hingga dua malam berturut-turut," kata Nikolaus Ata Making, salah satu Kepala Bidang pada Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Lembata, juga adalah salah tokoh dan anak suku Dulimaking yang hadir dan terlibat aktif dalam pesta kacang Lamariang .

Penulis: Helena Lina