Notification

×

Hak Hidup Dicabut, Hukuman Mati Tidak Memberikan Efek Jerah Kepada Pelaku

Senin, 13 Februari 2023 | Februari 13, 2023 WIB Last Updated 2023-02-13T14:30:19Z
Divo Rordiques Soge Matarau, (dok pribadi).
Kupang, Fakta Line - Pandangan-Pandangan masyarakat dan kaum muda khususnya mahasiswa yang terkait dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang ada dalam Pancasila. Kontroversi mengenai hukuman mati salah satunya muncul karena  amandemen kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak ini adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara.


Selain itu, hukuman mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.
Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat dan menciptakan masyarakat yang bahagia. Faktor penentunya bukanlah berapa banyak kejahatan turun dengan adanya hukuman mati, tetapi bagaimana keadilan tetap ada dan dirasakan para korban kejahatan.


Hukuman mati merupakan salah satu pidana tertua di dunia. Namun, memasuki abad ke-20, banyak negara yang memutuskan untuk menghapuskan pidana tersebut sebagai hukuman, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman ini. Namun, pelaksanaan hukuman mati telah menuai pro dan kontra sejak lama.


Merujuk pada putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Pada Senin 13/02/2023 kasus pembunuhan Brigadir Josua Hutabarat Dengan tersangka Irjen.Pol. Ferdi Sambo, SH, M.H,S.IK, dalam Permusawaratan Majelis Hakim Menjatuhkan Hukuman Pidana mati terhadap terdakwa, putusan ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan pemidanan itu sendiri  bahwa Hukuman mati bukanlah berorientasi pada balas dendam.


Menurut pendapat para Ahli Seperti Montesquieu, Voltary, Jeremy Bentham, dan Jhon Howard, gerakan penghapusan hukuman mati ini dikenal dengan gerakan Abolisionis, seorang Abolosionis bernama Cessare Beccaria dalam karya tulis ilmiah yang berjudul Dei Delitti e Delle Pene menerangkan bahwa Negara tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil hak hidup seseorang. Seharusnya pemidanaan itu diarahkan pada perbaikan diri si pelaku kejahatan tetapi Hukuman mati menampik kesempatan tersebut.


Dalam Teori Relatif Hukum Pidana, Teori relatif tidak lagi bertujuan untuk membalas pelaku tindak pidana tetapi bertujuan untuk memperbaiki pelaku serta mencegah terjadinya tindak pidana dengan peraturan-peraturan yang di buat untuk mencegah kejahatan, Hukuman mati adalah Non Derogable Right yang tidak bisa dibatasi dan dihapus oleh alasan apapun dan pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tercantum dalam pasal 28 J UUD 1945 dengan alasan kepentingan umum, hanya dapat berlaku hak-hak Derogable dengan kata lain seharusnya tidak bisa diterapkan pada Non Derogable Right yang termuat dalam pasal 28 I UUD 1945.


Terkait argumentasi yang mengatakan hukuman mati untuk mencapai efek jerah bagi si pelaku kejahatan, sampai dengan saat ini tidak ada satupun penelitian yang bisa membuktikan korelasi atau hubungan naik turunnya kejahatan dengan eksekusi hukuman mati. Dan Dalam konteks hukum yang masih bobrok akan menjadi bahaya jika hukuman mati masih diterapkan, karena sistem hukum yang bobrok membuka peluang putusan yang tidak tepat. Dan potensi-potensi keputusan sebuah pengadilan menjadi salah sangat besar kecendrungan dan perlu ketahui bersama kalau hukuman mati tidak bisa di koreksi. 


Dalam menjalankan peran Hakim melakukan Interpretasi terhadap apa yang berlangsung di dalam proses pembuktian sebagimana yang kita ketahui bersama Hakim bukanlah orang yang benar-benar melihat secara nyata bagimana suatu tindak kejahatan itu terjadi karena merupakan interpretasi maka kemungkinan bahwa interpretasi itu Salah selalu terbuka. Dan Ada celah agar hukuman mati itu dapat di hapus dalam Perspektif Teologi demikian antara lain pandangan muncul dalam peluncuran buku Bilingual "Menggugat  Hukuman Mati Di Indonesia" Terbitan Imprasial Kamis 25/February/2010 peluncuran buku Ini seolah Mengungkit Kembali Pro Kontra Hukuman Mati di tanah air.


Di satu sisi Indonesia sudah meratifikasi Internasioanal Covenan On Cicil Political Right (ICCPR) melalui UU nomor 12 tahun 2005 yang melarang hukuman mati. Dan dengan adanya hukuman mati mencerminkan Indonesia masih mengkalkulasikan hak hidup seseorang karena hukum mengikat manusia karena manusia bisa memilih dalam melakukan tindakan, dan Manusia juga memiliki kemungkinan untuk berubah mengalami penyesalan dan memilih untuk bertobat namun adanya hukuman mati peluang manusia untuk menjadi tobat itu Menjadi hilang penyesalan, pertobatan, kembali ke jalan yang benar itu ditutupi oleh yang namanya kematian.


Dalam penyusunan RUU KUHP masih ada pidana mati namun diklasifikasi dalam kejahatan luar biasa (Ekstra Irdinary Crime) delik-delik ini sangat serius seperti Terorisme, pelanggaran HAM berat, dan genosida dalam RUU KUHP juga diperkenalkan system Postpone artinya eksekusi pidana mati ditunda beberapa tahun kalau dia berperilaku baik di penjara penjatuhan pidana dapat di ubah menjadi hukuman seumur hidup dalam kurun waktu tertentu.

Penulis: Divo Rordiques Soge Matarau
                Mahasiswa Hukum Unkris Kupang